Oleh: Moh. Ahsin Bik
Gus Dur adalah fenomena. Pembelaan beliau terhadap minoritas selalu konsisten, tidak pernah berubah sedikitpun dalam keadaan bagaimanapun. Banyak hal yang patut menjadi teladan yang menjadi warisannya. Kalau mengutip kalimat Ki Sujiwo Tejo, banyak hal-hal sepele peninggalan Gus Dur yang patut kita masukkan dalam relung pikiran kita yang dalam disamping hal-hal besar yang menjadi warisannya.
Gus Dur memahami keberagaman sebagai suatu keharusan. Baginya keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak keberagaman sama saja dengan mengingkari pemberian Ilahi. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, kalau meminjam istilah Wolfgang Huber, Ethic of Dignity daripada Ethic of Interest. Ethic of Dignity melihat perbedaan sebagai sebuah pemberian, sedangkan Ethic of Interest memandang perbedaan sebatas pilihan.
Dalam bidang keagamaan, pluralisme normative mengharuskan Gus Dur menolak pluralism indifferent, yakni paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola piker yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai pada keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya Pluralisme murahan tanpa differensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralism yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan agama dengan agama lain.
Beberapa hal yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini, tanpa bermaksud untuk membuat sebuah kesimpulan terhadap mana yang benar dan mana yang salah. Karena kebenaran mutlak adalah milik-Nya. Sambil berharap agar penulis bisa bertambah Iman dan bertambah baik ibadahnya.
Coba kita mengutip ayat-ayat:
a. Surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.”
Ayat ini menunjukkan adanya keberagaman (pluralitas) suku-suku dan bangsa-bangsa. Keberagaman ini diciptakan Allah untuk saling mengenal satu sama lain. Saling menghormati setiap perbedaan yang ada pada keberagaman suku-suku dan bangsa-bangsa. Dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan pembenaran terhadap sebuah keyakinan.
Tujuan Allah dari penciptaan yang beragam ini adalah sebagaimana tercantum dalam ayat diatas yakni untuk saling mengenal. Bukan untuk saling bermusuhan atau terpecah belah. Apalagi untuk menilai bahwa satu kelompok atau suku atau bangsa lebih baik atau mulia dari kelompok yang lain. Karena sesungguhnya yang lebih mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
b. Surat Al-Hajj (22) ayat 67, 68, 69.
Artinya:
“(67) Bagi setiap umat telah kami tetapkan syari’at tertentu yang (harus) mereka amalkan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syari’at) ini dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus. (68) Dan jika mereka membantah engkau, maka katakanlah, ‘Allah lebih tahu apa yang kamu kerjakan.’ (69) Allah akan mengadili di antara kamu pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu memperselisihkannya.”
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Al-Qur’an adalah kitab terakhir untuk agama terakhir yang diturunkan Allah untuk manusia kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Syari’at yang dikandung dalam Al-Qur’an juga melengkapi syari’at yang telah diturunkan Allah dalam kitab-kitab untuk umat-umat sebelumnya. Dan barangsiapa yang mengikuti syari’at yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka ia benar-benar berada di atas jalan yang lurus.
Tidak ada samasekali orang yang pantas untuk membantah kebenaran yang terkandung di dalamnya. bahkan di dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat ayat yang menyatakan tantangan Allah kepada jin dan manusia untuk membuat yang semacam Al-Qur’an walaupun satu ayat. Karena itu kemudian Allah memerintahkan kepada Muhammad dan umatnya untuk tidak terpengaruh terhadap tantangan dan juga pembangkangan orang-orang kafir. Dan kemudian lanjutkan dakwah dengan senantiasa menyerukan kebenaran Al-Qur’an dengan cara yang hikmat dan bijaksana. Bukan dengan memaksakan orang untuk beriman, karena pada sisi ini Allah menjadi penentu segalanya. Apakah mereka akan menjadi beriman atau tidak.
c. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad:
Artinya:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidak ada seseorang yang mendengar aku, Yahudi dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.”
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
“Tidak ada nabi di antara aku dan ia, yakni Isa as, sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan maka akan basah. Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan agama selain Islam, sedangkan Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi isi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” (HR. Abu Dawud)
d. Surat Ali Imron ayat 64.
Artinya:
“Katakanlah; ‘Hai Ahli Kitab, marilah berpegang pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Menurut Ibnu Katsir, frase “kalimat” yang terdapat pada ayat di atas dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama yang tidak ada perbedaan antara kami dann kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata “kalimat” yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna yang dituju oleh frase “sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat tauhid, yaitu “Laa Ilaaha Illallah” (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Kalimat ini adalah kalimat yang diajarkan oleh para Rasulullah sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 36:
Artinya:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu’.”
Dan juga firman Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat 25:
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya : ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”
Bangsa Indonesia terbentuk atas keanekaragaman suku bangsa dan budaya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, di Negara-negara di dunia ini juga terdapat berebagai keragaman budaya dan suku bangsa. Munculnya berbagai keragaman ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan sudah menjadi sunnatullah bahwa kita diciptakan dengan banyak perbedaan. Baik itu dari segi fisik, pola pikir, prilaku, budaya, suku dan bangsa-bangsa. Karena dengan begitu kita akan dapat mudah untuk saling memahami.
Khususnya di Indonesia, terdapat beberapa agama yang di anut oleh warganya, dan hal itu di akui oleh Undang-undang sebagaima tercantum dalam UUD ’45. Namun dalam undang-undang itu tidak terdapat kalimat yang menyatakan bahwa semua agama itu sama. Melainkan keberadaan agama-agama itu sama-sama diakui untuk dianut oleh oleh masing-msing pemeluknya. Dan setiap pemeluk agama itu berhak untuk menjalankan aktifitas ritual keagamaan sesuai dengan cara yang diyakininya.
Dari sini kemudian muncul berbagai pendapat dan sikap terhadap adanya pluralisme dalam agama. Sebagian kalangan memahami bahwa pluralisme agama berarti menganggap semua agama adalah sama dan benar. Dan sebagian kalangan yang lain menganggap bahwa pluralisme agama adalah sebatas pengakuan terhadap keberadaan agama lain selain agama yang dianut. Namun dengan keyakinan bahwa agamanya yang paling benar.
Pluralisme sendiri menurut para ahli memiliki arti yang berbeda-beda. Karl Rahner, seorang Theolog Katholik abad 20 berpandangan bahwa para penganut Agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Pandangan ini memiliki pengaruh yang besar terhadap Vatican Council yang saat itu berpendapat bahwa tidak ada keselamatan diluar gereja (extra eclessiam nulla sallus). Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (Anonymous Christian). Dengan kata lain, bahwa menurut Rehner agama Kristen adalah agama yang paling mulia daripada agama-agama lain.
Berbeda dengan Rehner, John Harwoord Hick, seorang filosof agama kontemporer yang konsern terhadapa masalah hubungan antar agama, mengatakan bahwa Pluralisme agama mesti didifinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran suatu agama atas agama lain secara normative. Hick tidak setuju dengan pernyataan bahwa agama Kristen memiliki “kebenaran” yang lebih disbanding kebenaran yang dimiliki agama yang lain. Menurut dia, cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu agamapun yang berhak untuk mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita semua sedang mencarinya.
John Cobb Jr. membangun sebuah konsep yang dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Budha, Hindu, Islam dan sebagainya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal yang sama. Dia juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa kevalidan dari kebenaran suatu agama adalah sama. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh kebenara suatu agama, maka kita harus mendengarkan apa yang mereka katakana dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama. Dalam hal ini, kalau misalnya beberapa agama bertemu satu sama lain maka penganut agama tersebut akan diperkaya oleh pengetahuan mereka terhadap agama-agama lain. Mereka dapat belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Senada dengan Cobb, Raimundo Pannikar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). Pannikar menjelaskan bahwa, kita harus bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasa mereka sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. Kita tidak dapa mengatasi dan menjembatani perbedaan itu dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan menchallenge agama-agama yang lainnya dalam jaringan dialog antar agama. Karena itu Pannikar mengatakan bahwa setiap agama masing-masing mengeksperesikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa reffleksi, challenge, koreksi dan pelengkap agama yang satu dengan agama yang lain.
Wilfred Cantwell Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama. Menurut Smith, pluralisme agama adalah tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini adalah kita diminta untuk bisa memahami tradisi-tradisi agama yang lain disamping tradisi agama yang kita anut. Pemahaman mengenai agama ini diperlukan jika kita mau berbuat adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana yang diwahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama hendaknya dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara Illahi dengan manusia. Dalam hal ini Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
Jika mengutip dari beberapa ayat dan hadits diatas, maka kita bisa melihat bahwa realitas yang terjadi memang terdapat berbagai suku bangsa serta agama yang dianut oleh pemeluknya masing-masing. Hal ini tidak dapat kita pungkiri. Pengutipan pendapat-pendapat para ahli di atas dimaksudkan untuk menunjukkan pluralisme menurut mereka yang nota bene tidak menjadikan Islam sebagai agama yang mereka anut. Sedangkan kesimpulan mendasar yang dapat diambil dari pendapat-pendapat itu adalah adanya toleransi dalam beragama dan menjalankan aktifitas ritual keagamaan masing-masing penganut agama.
Dalam hal toleransi ini, Islam mengajarkan satu toleransi dalam beragama sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah surat Al-Kafirun yang menyatakan: “Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku”. Dan ayat lain yang menyatakan : “Tidak ada paksaan dalam menganut Agama”. Meyakini kebenaran agama yang dianut dengan tanpa memaksakan keyakinan itu terhadap penganut agama yang lain.
Bila kita merujuk kepada sejarah agama, kita menemukan bahwa tiga agama besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam lahir dari satu bapak (Ibrahim). Ini yang membuat kita mengerti akan sabda Rasulullah tentang para nabi bahwa mereka adalah “keluarga besar (abna ‘allat)”. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara historis-geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidak berjauhan, sampai setiap agama itu menyebar ke seluruh benua. Seharusnya, hubungan antar agama yang satu dengan agama yang lainnya adalah hubungan persaudaraan. Sayang, pada kenyataannya setiap agama justru mempersempit gerak agama lain. Masing-masing menciptakan suasana ketegangan, jika tidak ingin dikatakan suasana permusuhan. Hubungan paling buruk terjadi antara Kristen, di satu sisi, dengan Yahudi dan Islam, disisi lain. Dan hubungan paling ringan adalah hubungan antara Islam, di satu sisi, dengan Kristen dan Yahudi di sisi lain. Yang demikian itu terjadi karena Islam, sebagai agama terakhir, harus menentukan sikapnya terhadap agama-agama yang datang mendahuluinya. Sesungguhnya Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama-agama yang saling berhubungan, yang perbedaan-perbedaan di antara ketiganya sangatlah kecil. Ke-Maha-Esaan Allah meniscayakan akan pluralitas selain Dia, artinya hanya Allah saja yang Esa (tunggal) sedangkan selain Dia, adalah plural. Menolak pluralisme berarti pada dasarnya menolak kemajemukan, sedangkan menolak kemajemukan sama saja dengan mengingkari sunnatullah, dan itu tidak mungkin.
Alwi Sihab mengatakan, dialog antarumat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Membangun persaudraan antarumat beragama adalah kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan sepanjang zaman. Persaudaraan antarsesama umat beragama itu hanya dapat dibangun melalui dialog yang serius yang diadasarkan pada ajaran-ajaran normatif masing-masing dan komonikasi yang intens, dengan dialog dan komonikasi tersebut akan terbangun rasa persudaraan yang sejati. Dengan terwujudnya rasa persaudaran yang sejati antarsesama umat, maka akan sirnalah segala sakwa sangka di antara mereka. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal, saling pengertian, dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme.Agama Islam sejak semula telah menganjurkan dialog dengan umat lain, terutama dengan umat Kristen dan Yahudi yang di dalam al-qur’an disebut dengan ungkapan ahl al-Kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl al-Kitab untuk panggilan umat Kristen dan Yahudi, mengindikasikan adanya kedekatan hubungan kekeluargaan antara umat Islam, Kristen dan Yahudi.Kedekatan ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genologi ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemua pada Ibrahim sebagai bapak agama tauhid. Ketiaga agama ini, sering juga disebut dengan istilah agama-agama semitik atau agama Ibrahim.
Konsep pluralisme agama sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia merupakan bagian prinsip dasar dari agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai agama yang mengemban misi rahmatanlilalamin memandang pluralisme atau keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah swt, yang harus diterima oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah bagian dari otoritas Allah (sunnatullah) yang tidak dapat dibantah oleh manusia. Secara historis, pluralisme agama adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri, hal ini tergambar dalam sejarah tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam yang bersumber dari satu bapak tetapi banyak ibu.
Al-qur’an dalam berbagai kesempatan banyak berbicara tentang pluralisme, bahkan al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Sikap pengakuan al-qur’an terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme ketika menegaskan sikap penerimaan al-qur’an terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.
Wallahu A’lamu bi Showab.
Mohon kritikannya……!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar