Kamis, 22 April 2010

Chat Buzz (Cerpen)

Hari itu seperti biasa, tidak ada yang special di hari itu. Semua aktifitas berjalan seperti biasanya, ada anak-anak, ada para ustadz, sholat berjama’ah, membaca Al-Qur’an, makan malam bersama dan lain sebagainya.


Seperti biasa, malam hari adalah salah satu masalah bagiku. Karena pada saat tubuh ini capek dan butuh untuk di istirahatkan, mataku gak mau terpejam. Akhirnya aku mengambil handphone kemudian aku membuka aplikasi chatting yang tersedia. Iseng-iseng aku masuk Room Chat yang berlabel Islam didalamnya. Siapa tau lagi ada bahasan menarik yang bisa aku simak, sekaligus untuk mencari kenalan di dunia maya. Setelah masuk dalam Room, bahasan hanya sebatas ucapin salam dan jawab salam aja, karena banyak yang keluar masuk keluar masuk. Tapi gak papalah, toh jawab salam kan baik. Setelah beberapa saat, aku add beberapa nick yang ada dengan random alias asal add tanpa pilih-pilih dulu. Hingga tanpa terasa, tiba-tiba anak-anak udah rame membangunkan aku untuk sholat malam. Yaa Allah ternyata aku bisa terlelap juga.
Meskipun berat, tetap saja aku bangun. Maklumlah, aku hidup di tengah anak-anak yang ada di asrama. Asrama yang coba kami bangun dengan tekad memberikan pendidikan kepada anak-anak drop out. Aku bersama teman-teman seperjuangan dengan berbagai keterbatasan mengemban amanat yang diberikan oleh orang tua dari anak-anak tidak mampu itu untuk mendidik, mengayomi sekaligus menjadi bapak asuh mereka. Awal perjalanan kami memang rumit, pendidikan yang kami terapkan adalah pendidikan ala pesantren meskipun sebenarnya tidak ada diantara kami yang pantas menyandang predikat Kiyai. Tapi dengan kemauan yang keras, kami telah melewati banyak hal meskipun kami sadar masih banyak hal lain yang pasti akan kami hadapi. Tapi kami yakin, Allah tidak pernah tidur. Dan kami bersyukur hingga saat ini kami bisa bertahan.
Pada pagi hingga siang hari adalah waktu bagi anak-anak untuk sekolah, bagian dari kami mengajar anak-anak sedang beberapa teman kami keluar untuk mencari maisyah demi kalangsungan hidup kami. Sedangkan pada malam hari, biasanya aku lembur didepan komputer untuk mempersiapkan materi yang akan diajarkan pada anak-anak keesokan harinya. Karena memang biasanya aku gak bisa langsung tidur. Malah sering aku tertidur didepan computer yang masih menyala. Pelan-pelan kami jalankan semua proses dengan kekuatan kami. Bukannya sombong, tapi saat ini kebanyakan orang yang mampu alergi dengan orang yang meminta sumbangan. Apa yang kami lakukan belum berarti apa-apa hingga mereka melihat dengan jelas hasil dari proses pendidikan yang kami jalankan.
Malam itu, setelah aku menyelesaikan semua pekerjaan, waktu sudah menunjukkan jam 01:15 WIB malam. Karena mata belum mau terpejam, dan anak-anak juga belum waktunya bangun, akhirnya aku ambil lagi handphone dan membuka aplikasi chatting nya. Tidak lama kemudian setelah online, ada seseorang yang menyapaku dengan salam yang komplit alias lengkap. Nicknamenya RAN dan dia ternyata perempuan. Akhirnya aku chatting ma dia. Berkenalan dan akhirnya cerita banyak hal. Cerita yang sama sekali gak jelas ujung pangkalnya. Toh ini cuma chatting pikirku. Tak terasa waktu berlalu, entah apa saja yang sudah aku obrolkan dengan perempuan di tempat yang jauh disana. Ngakunya sih. Soalnya dia bilang ada Sulawesi Selatan.
Tepat pukul 03.00 WIB, aku bangunkan anak-anak untuk sholat malam. Sholat malam itu penting banget. Karena pada waktu sepertiga malam itu, Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat-Nya untuk para hamnba yang mau bersujud pada-Nya. Setidaknya itulah yang diajarkan guru-guruku dulu. Dan sekarang aku dan teman-teman mengajarkannya pada anak-anak. Biasanya anak-anak setelah sholat malam, langsung disambung hingga shubuh. Setelah sholat shubuh ada kegiatan mengaji hingga waktu Ishrof. Waktu Ishrof itu adalah waktu pemisah antara shubuh dengan dhuha. Dan biasanya pada waktu-waktu seperti, rasa kantukku datang. Ngantuk banget. Akkhirnya aku putuskan untuk mengistirahatkan sejenak tubuhku dengan sebelumnya berpesan sama anak-anak untuk dibangunkan jam 07.00 WIB.
Yah begitulah diriku, sehari-harinya berkutat dengan kegiatan yang berhubungan dengan anak-anak. Tiada hari tanpa mereka. Tapi terus terang, meskipun kadang kesal, capek, marah, bosan dan lain-lain, rasa sayangku pada anak-anak selalu menghiasi kehidupanku. Mereka adalah hidupku, mereka adalah darahku.
Beberapa minggu berlalu, hubunganku dengan teman chattingku pun semakin intim. Kami merasa sudah sangat saling mengenal satu sama lain. Bahkan kami sudah saling bertukaran nomor handphone. Sehingga saat tidak online, maka kami saling mengirim sms dan telephone. Namanya adalah Vivian Maharani. Hemm, nama yang indah. Kalau dari namanya mungkin dia cantik sekali orangnya. Dia adalah seorang Bidan desa. Puskesmas di desanya membuka layanan UGD 24 jam, jadi sewaktu-waktu dia bisa saja menginap di Puskesmas karena Dinas. Usianya sudah dewasa. Bahkan kalau dilihat dari usianya, sudah saatnya dia menikah. Dia selisih 4 tahun lebih muda dariku. Pada 22 Oktober nanti, usianya genap 26 tahun. Banyak yang ia ceritakan tentang dirinya padaku. Dan banyak juga aku cerita tentang diriku padanya, termasuk tentang kehidupanku bersama anak-anak diasrama.
Dia bilang hatinya sedang terluka. Karena orang yang dia cintai meninggalkannya. Menikah dengan temannya sendiri. Ayahnya adalah seorang pedagang yang membuka kios di pasar dekat rumahnya. Dia punya seorang kakak perempuan yang sekarang sudah menikah dan punya anak dan seorang adik yang saat ini masih kuliah. Kalau aku boleh menilai sih, sebenarnya kehidupan mereka seperti biasa. Mereka bukan keluarga yang kaya raya, tapi cukup mapan. Mereka menjalankan aktifitas masing-masing sebagaimana aku juga menjalankan aktifitasku di asrama bersama anak-anak.
Tiap hari kami menyempatkan waktu luang untuk chatting. Karena kadang aku merasa, dengan chatting, obrolan bisa jadi lebih nyaman. Lagian bisa lebih hemat pulsa. Bahkan seringkali HPku aku biarkan online seharian sehingga di sela-sela aktifitas aku bisa chatting dengan dia. Dan sepertinya aku tak bisa melewatkan satu hari berlalu tanpa chat dengannya. Walaupun hanya seekedar mengucapkan salam.
Saat itu, anak-anak menjelang ujian akhir semester. Dan biasanya menjelang ujian seperti ini, saya dan teman-teman menjadi lebih sibuk. Mulai dari memberikan tambahan jam belajar dan materi pada anak-anak, kami juga harus menyiapkan soal-soal ujian. Tugas mengetik adalah bagianku. Jadi aku semakin sering lembur. Semakin jarang tidur malam, yang juga semakin jarang online. Hampir seminggu aku tidak online. Kalau sudah begitu aku hanya bilang kalau aku sangat sibuk ke Vivian lewat sms. Dia bisa mengerti, sehingga dia juga jarang online. Katanya sih nunggu sampai aku sempat online lagi. “Ya udah lah gak papa. Ntar kalau udah selesai semua kan bisa dilanjut.” Pikirku. Akupun sibuk dengan aktifitasku sendiri. Hingga beberapa hari berlalu tanpa online, tanpa sms, tanpa telephone, dan tanpa kontak dengan Vivian.
Diam-diam aku mulai sangat merindukannya. Aku ambil HPku, kemudian aku tekan nomornya yang sudah aku simpan. Tapi nomornya gak aktif. Beberapa kali aku coba hubungi, tapi tetap tidak aktif. Akhirnya aku putuskan untuk mengirimkan sms ke nomornya. “Ntar kalo nomornya dah aktif kan masuk sendiri.” Pikirku. Tapi nyatanya, setelah beberapa hari, laporan pesan yang muncul adalah expired.
Saat itu, tiba-tiba aku merasa ada yang hilang dalam hidupku. Saat-saat luang aku hanya melihat HPku dan mencoba menghubungi nomor Vivian yang tetap saja masih belum aktif. Aku gak tahu apa yang terjadi dengannya. Aku sering berpikir apakah karena aku gak pernah menghubunginya saat aku sibuk kemarin itu. Tapi kayaknya gak mungkinlah. Dia cukup dewasa untuk mengerti. Semakin aku berfikir, semakin aku gak menemukan jawaban, dan semakin kerinduan menyelimuti hatiku. Semakin lama rasa rindu itu semakin mengelora dalam kalbuku. Seakan tak bisa ku tahan lagi. Hatiku kalut, dalam benakku, nama Vivian telah menghapus nama-nama lain. Nama Vivian telah terukir dalam hatiku dengan begitu dalam.
Hari demi hari berlalu dengan kerinduan yang tak pernah hilang dari hatiku. Tapi aku selalu berusaha melewati waktuku dengan aktifitasku bersama anak-anak. Hanya saja kali ini, kata teman-temanku aku terlihat berbeda. Mereka bilang aku jadi pendiam. Meski begitu, teman-temanku tidak mau terlalu ikut campur dengan urusanku. Bagi kami, jika urusan pribadi tidak sampai mengganggu aktifitas diasrama, maka kami menganggap tidak ada masalah. Dan aku memang berusaha sebaik mungkin untuk tidak mencampur adukkan urusan pribadiku, apalagi perasaanku dengan kegiatan pendidikan anak-anak. Anak-anak tetaplah prioritas bagi kami. Tak ada yang lebih penting daripada anak-anak.
Suatu malam, badanku terasa sangat capek. Aku berniat tidur lebih cepat pada malam itu. Karena aku ingin istirahat. Tapi tetap saja mataku sulit terpejam. Padahal rasanya aku sudah sangat ngantuk banget. Aku minta tolong anak-anak untuk menginjak-injak punggungku, tentu saja aku sediakan snack untuk membalasnya. dengan semangat beberapa dari mereka menginjak-injak punggungku. Masya Allah, ternyata nyaman sekali. Sampai akhirnya akupun tertidur.
Seperti biasa pukul 03.00 WIB aku terbangun dan langsung membangunkan anak-anak untuk bersama-sama sholat malam. Dengan antrian kami mengambil wudhu kemudian setelah selesai, semua berkumpul diruangan musholla untuk sholat berjama’ah. Aktifitas seperti biasa dimulai. Setelah sholat shubuh kami lanjutkan dengan tadarusan. Kemudian anak-anak mengerjakan piket kebersihan. Akupun mandi untuk persiapan kegiatan selanjutnya. Setelah mandi dan ganti baju, aku mengambil HPku. Kulihat ada 7 panggilan tak terjawab disana. Setelah ku buka, tiba-tiba jantungku berdegub kencang. Nama Vivian tercantum disitu. Sejenak seperti ada air menyiram gersangnya hatiku yang merindu. Seketika itu juga hatiku berbunga-bunga. Aku tak sabar mendengarkan suaranya, kembali chatting dengannya, dan bercerita-cerita. Tapi pagi itu, aku musti mengajar. Jadi aku masih harus menahan keinginanku untuk menelpon Vivian. Orang yang sama sekali belum ku lihat wajahnya. Jangankan orangnya, fotonya belum ku lihat. Tapi aku sama sekali tak perduli dengan semua itu. Karena bagiku kecantikan tidak bisa diukur dari penampilan fisik saja. Selama ini aku merasakan kecantikan Vivian lewat suaranya yang halus, tutur katanya yang sopan, suara tangisnya yang seperti irama lagu mendayu-dayu. Rindu ini juga tak pernah ku undang. Ia hadir dengan kehendaknya sendiri. Menggelayut dalam keharmonisan irama hati. Yang semakin lama semakin menumbuhkan rasa cinta yang tak pernah bisa ku mengerti. Toh, seperti kata orang bijak bilang, cinta itu urusan memberi, bukan untuk meminta kembali.
Setelah usai semua kegiatan siang itu, lantas akupun mencari tempat menyendiri untuk menghubungi Vivian. Vivian pun mengangkat teleponnya. Suara di telephone tak terdengar. Terputus-putus. “Sinyal lagi gak bagus kali ya.” Pikirku. Aku lihat HPku. Sinyalnya penuh. Mungkin HPnya Vivian kali ya yang gak dapat sinyal. Akhirnya terpaksa kumatikan juga HP. Dan tak berapa lama kemudian, sebuah SMS masuk. Ternyata dari Vivian. “Kak, OL yuk!” begitu isi SMSnya. Dan akupun langsung Online.
Sejenak kami terhanyut dalam obrolan yang seru. Aku bilang semua yang aku rasakan selama ini padanya. Jempolanku sepertinya sudah fasih sekali bergoyang diatas keypad HP menuliskan kata-kata rindu, hingga aku sendiri gak sadar, dalam beberapa saat Vivian sama sekali gak membalas kalimat-kalimat yang aku kirimkan. “Kok diem aja?” kataku. Dia hanya membalas dengan sangat pendek. “K…” katanya. “Kenapa dik?” Jawabku. “Adk pgn ketemu ma kk.” Katanya lagi.
Aku terdiam sejenak, berfikir tanpa tahu apa yang ku fikirkan. Kalau saja ia tahu, keinginanku untuk bertemu dengannya lebih besar dari keinginanku terhadap yang lain di dunia ini.
“Adk serius pengen ketemu kk?” tanyaku.
“Ia kak! Pengen banget…” jawabnya lagi.
“KK juga pengen ketemu ma adk.” Kataku.
“Tapi tunggu kk libur ya dik.” Lanjutku.
“Ya udah, kalo kk g bisa g pa2.” Katanya.
“Kk janji akan ke tmpt adk.” Kataku.
Chatting pun berlanjut hingga waktu ashar tiba. Aku bilang pada Vivian aku aka nada kegiatan lagi sama anak-anak di asrama. Kemudia aku pamit ke dia sambil berjanji untuk datang.
Dalam pikiranku berkecamuk hasrat tak menentu. Aku ingin sekali saat itu segera tiba. Aku datang ke tempat Vivian, bertemu dengannya dan… tapi darimana aku dapat ongkos untuk berangkat kesana? Akhirnya akupun memutuskan untuk mengumpulkan uang yang aku punya sambil mencari kerjaan di luar untuk tambahan.
Beberapa hari kemudian, pada saat jam istirahat siang, aku menyalakan komputer. Kebetulan saat itu aku dapat garapan lay out majalah dari seorang teman. Lumayan lah buat tambahan, meskipun gak terlalu banyak. Aku duduk di depan computer dan akupun memulai pekerjaanku. Lantas samar-samar kudengar pintu depan Asrama diketuk. Akupun berdiri dari tempat dudukku dan mendekat ke pintu hendak membukakan pintu.
Setelah pintu ku buka, ku lihat seorang gadis, cantik, menggunakan mukena putih bersih berdiri di depan pintu. Aku kaget setengah mati. Lantas aku berusaha mengendalikan diriku dari rasa kaget itu. Kuperhatikan mukanya yang putih bersih namun agak pucat. Bibirnya tersenyum melihatku, tapi dari matanya keluar air mata bening menetes perlahan tanpa ia berusaha untuk mengusapnya. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Dia terlihat asing bagiku tapi rasanya aku seperti sudah sangat mengenalnya. Jantungku semakin berdegub kencang sedangkan dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Agak lama kami saling berpandangan. Kami berdua masih di pintu, bahkan aku sampai lupa mempersilahkkan ia masuk. Sejenak kemudian ia mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegub lebih kencang. Suara itu aku bisa merasakannya. Mulutku tak sanggup mengeluarkan sedikit kata-kata untuk menjawab salamnya. Aku semakin tegang, sekujur tubuhku serasa kaku tak mampu bergerak. Hingga aku disadarkan oleh getar dan suara ringtone HPku. Aku masukkan tanganku ke saku celanaku. Ku ambil HPku dan kulihat nama Vivian memanggil. Akhirnya akupun mengangkat HPku. Aku permisi sejenak kepada tamu bermukena yang sedang berdiri di depan pintu asramaku. Lantas aku mengangkat telpon itu. “Assalaamu’alaikum” Kataku. Gak ada jawaban, yang ada hanya suara tangis tersedu-sedu. Lantas sayup-sayup terdengar diantara suara tangis itu memanggil-manggil nama Vivian berkali-kali. Jantungku semakin berdegub kencang. Tubuhku semakin kejang. Akupun menoleh ke pintu dimana gadis itu berdiri. Di menghampiriku. Lantas dengan suara lembut dia bilang padaku.
“Kak….. Aku Vivian….”
Seketika aku merasa dunia ini gelap dan kemudian aku tak bisa lagi merasakan apa-apa…..
Saat aku tersadar, aku sudah berada di tengah kerumunan anak-anak asrama. Diantara anak-anak itu juga ada para Ustadz. Perlahan-lahan aku mulai bangkit kemudian aku duduk diantara mereka. Hatiku masih bergetar, aku mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi. Kejadian yang belum sepenuhnya aku mengerti. Seorang perempuan memakai mukena yang berdiri didepan pintu, telepon dari Vivian namun hanya terdengar suara tangis.
Setelah sekian lama baru aku mengerti, Vivian telah pergi. Selama ini ia menderita kanker otak akut yang menggerogoti kepalanya yang tidak pernah ia ceritakan kepadaku. Waktu HPnya tidak bisa aku hubungi dulu ternyata ia sedang dirawat dirumah sakit di daerahnya sana. Keluarganya menghubungi aku lewat telephone. Vivian telah bercerita banyak tentang diriku kepada keluarganya. Vivian sering kali bilang pada keluarga kalau dia ingin menemui aku sebelum pergi meninggalkan dunia ini. Ia dan keluarganya waktu itu tahu, secara medis, nyawa Vivian tidak akan bertahan lebih lama dari 2 bulan. Aku hanya bisa terdiam. Tak sepatah katapun terucap dari bibirku. Dan tanpa terasa pipiku telah terbasahi air mata. “Yaa Allah…..” desahku. “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji’uun”… Akupun tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya….

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar